Penyuluh Perikanan Kab Musi Rawas
Limbah pakan ikan bisa menyebabkan ikan
dalam keramba mati percuma. Dengan temuan keramba berlapis, zat racun
dalam limbah diharapkan dapat diminimalisasi.
Keramba merupakan tempat pemeliharaan dan budi daya ikan tradisional
yang mirip tambak ikan. Jenis-jenis ikan tertentu dibudidayakan di dalam
keramba untuk kemudian dipanen menurut usia ikan.
Di beberapa waduk dan danau, para pembudi daya ikan biasanya
memanfaatkan air sebagai lahan budi daya ikan. Mereka menggunakan sistem
keramba atau biasa dikenal dengan Keramba Jaring Apung (KJA).
Keramba ini memiliki beberapa manfaat. Keberadaan ikan di dalamnya akan lebih aman, sehingga memudahkan pemeliharaan.
Selain itu, dengan ukuran keramba yang terbatas, ikan dapat dipanen
dengan mudah. Nilai ekonomisnya pun dapat langsung dihitung petani ikan.
Menurut Fachmijany, peneliti Pusat Penelitian
Limonologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, KJA
disukai pembudi daya karena mudah dilakukan dan murah. Pembudi daya juga
tidak takut kekurangan air ketika kemarau datang.
Sifat perairan danau yang masih dianggap sebagai common property
(milik bersama) dan open access (sifat terbuka) menyebabkan pertumbuhan
keramba jaring apung di berbagai tempat berkembang sangat pesat dan
cenderung tidak terkontrol dan tak terkendali, katanya.
Fachmijany menambahkan saat ini hampir di setiap bendungan dan danau
terdapat ribuan keramba. Waduk-waduk besar seperti Jatiluhur, Karang
Kates, Cirata, Danau Maninjau, dan Singkarak penuh dengan jaring apung.
Keberadaannya terkadang mengganggu pemandangan alami waduk dan danau
yang bersangkutan.
Selain mengganggu pemandangan, maraknya keramba apung juga menghasilkan permasalahan tersendiri bagi lingkungan.
Menurut peneliti Limnologi LIPI Peter E Hehanusa, sistem pemberian makan pada keramba KJA menimbulkan masalah lingkungan.
Makanan buatan berupa pelet yang disebar di atas keramba, sebagian
tidak termakan oleh ikan. Sisa makanan yang tidak termakan ini mengendap
di dalam waduk dan menjadi racun bagi ikan-ikan itu sendiri.
Di Waduk Cirata, Cianjur, Jawa Barat, pada Oktober hingga Desemberi
2009 dilaporkan terdapat sekitar 50 ton ikan mati. Berdasarkan temuan
dinas perikanan setempat, kematian ikan di kawasan ini diakibatkan oleh
adanya arus balik atau upwelling yang dipicu oleh perubahan suhu air.
Peter mengatakan kondisi ini sangat mungkin terjadi. Air dalam danau
yang dingin naik ke atas permukaan air yang hangat, akibat perbedaan
kerapatan air.
Ini kemudian mengakibatkan air
danau di bawah yang telah tercemar oleh sisa nutrien (sisa makanan ikan)
tadi ke atas. Zat cemar yang naik ke atas menyebabkan air danau bagian
atas kekurangan oksigen (O2).
Fahmijany
menyatakan agar upwelling tidak mengakibatkan ikan mati, maka harus ada
upaya untuk mengurangi racun di dasar danau yang disebabkan oleh sisa
makanan yang tidak termakan tersebut. Jika kasus keracunan pada ikan
sudah terjadi, artinya sisa makanan yang mengendap di dasar danau sudah
di luar kemampuan alam untuk mendegradasinya. Sehingga dengan demikian,
agar alam mampu mendegradasi, maka tingkat pencemaran nutrien harus
dikurangi.
Keramba Berlapis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fahmijany bersama dengan
Triyanto, Lukman, dan Ami A Meutia, agar fenomena upwelling tidak
menimbulkan kematian ikan, maka para peneliti menciptakan KJA dua
tingkat yang mereka sebut dengan KJA berlapis.
Tujuan KJA berlapis agar pakan ikan yang tidak termakan pada keramba
pertama dapat ditangkap oleh ikan pada keramba di bawahnya. Dengan
demikian, pakan ikan yang terbuang akan jauh lebih sedikit, kata
Triyanto.
Sistem KJA berlapis ini telah
diterapkan di Waduk Cirata, Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur, dan Danau
Maninjau. Pada penelitian yang dilakukan di Danau Manijau, Sumatra
Barat, para peneliti menggunakan dua KJA berlapis dengan ukuran 5 x 5x3
meter (m) untuk bagian dalam dan ukuran 12,5 x 6 x 5 m untuk bagian
luar.
Pada setiap sudut jaring apung ini
kemudian diberi bandul pemberat. Di bagian atas diikatkan rapi pada
batang kayu yang disangga drum bekas sebagai pengapung.
Pada KJA lapis dalam ditebari benih ikan mas sebanyak 200 kilogram (kg)
yang ditebar dalam 2 jaring. Sedangkan pada KJA lapis luar, yang lebih
luas ditebar ikan jenis nila sebanyak 50 kg.
Hasil awal pemeliharaan selama 2,7 bulan menunjukkan keramba berlapis
tidak mengalami kerusakan jaring. Ikan mas berkembang dari 200 kg
menjadi 1.030 kg. Ikan nila berkembang dari 50 kg menjadi 150 kg.
Semuanya dengan total pakan yang diberikan sebanyak 1.550 kg.
Hasil perhitungan konversi pakan ikan mas, yaitu jumlah pakan yang
diberikan dengan kenaikan berat badan ikan sebesar adalah 1,87 atau
setara dengan hasil produksi sebesar 53,54 persen. Sedangkan hasil
konversi pakan total ikan (ikan mas dan ikan nila), yaitu sebesar 1,67
atau setara dengan produksi sebesar 60 persen.
Setelah mengetahui total pakan dan konversinya, maka beberapa hal lain
perlu diketahui adalah pH, oksigen terlarut, nitrit (NO2) dan amoniak
(NH3), dan suhu air. Ada kecenderungan kenaikan pH melampaui ambang
batas.
Nilai pH air mencapai 9 di permukaan
maupun di dasar perairan, sementara kisaran nilai pH untuk kehidupan
ikan adalah pH antara 7,02 hingga 8,02.
Parameter lain, seperti kandungan O2 terlarut, NO2, dan NH3, serta suhu
air masih berada dalam batas toleransi untuk kehidupan biota air,
khususnya ikan. Hasil pengukuran oksigen terlarut berkisar antara 4,45
hingga 6,33 miligram (mg) per liter.
Sedangkan
batas minimum oksigen terlarut untuk kehidupan ikan adalah 3 mg per
liter. Kandungan nitrit berkisar antara 0,002 dan 0,012 mg per liter,
sedangkan kadar NH3 berkisar antara 0,004 dan 0,043 mg per liter.
Sementara nilai batas ambang kedua parameter tersebut 0,1 mg per liter
untuk NO2 dan NH3 adalah 0,6 mg per liter.
Sedangkan parameter kesuburan air yang diukur dari kandungan nitrat (HNO3) dan fosfat menunjukan angka yang rendah.
Hal ini tecermin dari tingkat kecerahan yang cukup tinggi. Tampaknya
kondisi perairan Danau Maninjau menunjukan kondisi yang membaik,
mengingat hasil pengukuran sebelumnya pada tahun 2000 dan 2001 kecerahan
danau masih relatif rendah, yaitu berkisar antara 1,5 2m, ujar
Fahmijany. (hag/L-4)