Oleh "Ahmad Rukbi, SP. MM. MSi."
Penyuluh Perikanan Kab Musi Rawas
PATIN SIAM (Pangasius hypophthalmus) memiliki
beberapa karakteristik yang unggul, yakni antara lain memiliki
kemampuan reproduksi lebih besar dibandingkan dengan ikan patin lokal,
khususnya dalam hal fekunditas atau jumlah telur yang diproduksi. Selain
itu, patin siam memiliki daya tahan (teloransi) yang baik terhadap
kondisi perairan, namun ikan hasil hibrid yaitu ikan pasupati juga
memiliki ke unggulan memiliki daging putih. Segmentasi usaha ikan patin
secara umum terbagi menjadi 3 kegiatan yaitu usaha pembenihan,
pendederan, dan pembesaran. Keuntungan yang di peroleh dengan adanya
segmentasi pembenihan yaitu waktu produksi (panen) lebih singkat
sehingga perputarannya juga cepat. Banyak pilihan usaha dengan posisi
tawar di pasaran yang cukup baik. Pilihan usaha bisa disesuaikan dengan
modal dan ketersediaan lahan bagi petani patin (Mahyuddin, 2010).
Sejalan dengan meningkatnya permintaan ikan patin untuk konsumsi
lokal maupun komoditas ekspor, maka keperluan akan induk meningkat.
Penyedian benih patin siam yang unggul memerlukan induk patin siam yang
unggul. Untuk mengantisipasi meningkatnya keperluan induk baik untuk
pembudidaya maupun di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar
(BBPBAT) maka perlu dilakukan produksi induk. Lamanya waktu untuk
menghasilkan calon induk menyebapkan jarang pembudidaya untuk
memproduksinya, sehingga BBPBAT berkewajiban menyediakannya. Oleh karena
itu, upaya menghasilkan induk patin siam yang unggul memerlukan program
pemuliaan yang benar, sistematis, konsisten dan berkelanjutan oleh
pihak pemerintah maupun swasta (Jauhari dkk., 2012).
BIOLOGI IKAN PATIN1. KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI IKAN PATIN SIAM
Menurut Saanin (1994) dalam Susanto (2009), klasifikasi ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : hypophthalmus
Menurut Kordi (2005), patin mempunyai bentuk tubuh memanjang, agak
pipih dan tidak bersisik. Panjang tubuhnya dapat mencapai 120 cm, suatu
ukuran yang cukup besar. Warna tubuh patin pada bagian punggung
keabu-abuan atau kebiru-biruan dan bagian perut putih keperak-perakan.
Kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak diujung agak kebawah.
Hal ini merupakan ciri golongan ikan catfish. Pada sudut mulutnya
terdapat dua pasang sungut (kumis) pendek yang berfungsi sebagai peraba.
Sirip punggung mempunyai 1 jari-jari keras yang berubah menjadi patil
yang besar dan bergerigi di belakangnya sedangkan jari-jari lunak dan
sirip ini 6-7 buah. Pada permukaan punggung terdapat sirip lemak yang
ukurannya sangat kecil. Sirip dubur agak panjang dan mempunyai 30-33
jari-jari lunak. Sedangkan sirip dada terdapat 1 jari-jari keras yang
berubah menjadi patil dan 12-13 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dan
bentuknya simetris. Morfologi ikan patin dapat dilihat pada Gambar 1.
Sesuai dengan ketentuan SNI : 01-6483.1-2000 kelas induk pokok, untuk
membedakan antara patin siam dengan jenis patin yang lain yaitu ikan
patin siam dicirikan oleh sirip punggung yaitu D.I.4-7, sirip dada
P.I.5-9, sirip perut V.3-8, anal A.30-33, serta mempunyai sirip lunak
tambahan (adifose fin) antara sirip punggung dan sirip ekor, bercagak dengan tepinya agak putih.
2. SIKLUS HIDUP IKAN PATIN
Menurut Susanto dan Amri (2002), Patin Siam (Pangasius hypophthalmus)
melewati enam fase kehidupan, yaitu telur, larva, benih, konsumsi,
calon induk, dan induk. Patin Siam di datangkan ke Indonesia pada tahun
1972. Kehadiran ikan ini disambut baik oleh masyarakat Indonesia,
terutama masyarakat yang tinggal di Sumatra dan Kalimantan. Siklus hidup
patin dapat dilihat pada Gambar 2.
3. HABITAT DAN PENYEBARAN
Sebagai ikan catfish lainnya, ikan patin di alam bebas biasanya
selalu bersembunyi didalam liang-liang ditepi sungai atau kali. Ikan ini
baru keluar dari liang persembunyiannya pada malam hari setelah hari
mulai gelap. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang noctural (aktif
pada malam hari). Di habitat aslinya sungai- sungai besar yang tersebar
di beberapa pulau besar di Indonesia ikan ini lebih banyak menetap
didasar perairan ketimbang di permukaan, sehingga digolongkan sebagai
ikan dasar (demersal)) hal ini dapat dibuktikan dari bentuk
mulutnya yang melebar, sebagaimana mulut ikan demersal lainnya
(Khairuman dan Sudenda, 2009)
4. PAKAN DAN KEBIASAAN MAKAN
Patin adalah ikan omnivora (pemakan segala, hewan dan tumbuhan) dan
cenderung menjadi carnivora (pemakan hewan). Di alam patin memakan
ikan-ikan kecil, cacing, detritus,
serangga, biji-bijian, potongan daun tumbuh-tumbuhan, rumput-rumputan,
udang kecil dan moluska. Dalam pemeliharaannya patin dapat memakan pakan
buatan (artifical foods) berupa pelet. Larva dan benih patin memakan plangkton (fitoplankton dan zooplankton). Larva patin yang baru memulai memangsa pakan dari luar setelah cadangan makanan berupa kuning telurnya habis, antara lain Barachionus calicyflorus, hexartra mira sedangkan benih yang berukuran lebih besar hingga menjelang menjadi ikan muda larva artemia dan sebagainya (Kordi, 2005).
PEMIJAHAN IKAN PATIN
1. PEMELIHARAAN INDUK
Menurut Hamid dkk., (2009),
induk yang ideal di pelihara dalam sangkar (keramba atau jaring apung)
yang dipasang di danau, sungai atau perairan alami atau dipelihara dalam
penampungan kolam secara khusus. Pematangan gonad dilakukan selama 3-4
bulan dengan kepadatan 3-5 ekor/m2 dengan berat Induk 1,5-2 kg.Kualitas induk ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal . Faktor internal dilihat dari keturunanya atau genetiknya, sedangkan faktor eksternal yaitu
dilihat dari perawatannya. Dua hal yang harus diperhatikan dalam
memelihara induk yaitu kolam pemeliharaan dan pakan. Sumber air harus
terjaga dari pencemaran lingkungan. Kolam memiliki saluran pemasukan
dan pembuangan, debit air masuk minimal 0,5 liter per detik, kedalaman
air antara 100-150 cm dan tersinari oleh matahari, kepadatan 0,25 kg/m2, kolam induk jantan dan betina dibuat terpisah (Jauhari dkk., 2012).Selama pemeliharaan, induk ikan diberi makanan khusus yang banyak
mengandung protein. Pada Balai besar pengembangan air tawar Jambi untuk
mendapatkan induk yang matang telur, induk diberi pakan berupa gumpalan
(pasta) dengan komposisi tepung ikan 35 %, dedak halus 30 %, menir
beras 25 %, tepung kedelai 10 %, serta vitamin dan mineral 0,5 %. Pakan
diberikan 5 hari dalam seminggu sebanyak 5 % setiap hari dengan
pembagian pagi 2.5 % dan sore 2,5 % dan diberikan ikan runcah dua kali
seminggu sebanyak 10 % dari berat badan induk ikan (Pamungkas dkk., 2007).
2. SELEKSI INDUK
Menurut Purnama dkk., (2011), induk betina yang akan di pijahkan yaitu yang memiliki ciri-ciri bagian perut besar dan oosite berwarna opaque,
seragam dan tidak mengandung cairan. Sedangkan untuk induk jantan
memiliki kualitas sperma yang baik diciri-cirikan apabila diurut pada
bagian ujung anus, keluar cairan putih kental (tidak encer). Setelah
didapatkan induk yang siap memijah, induk di bawa ketempat inkubasi
induk, untuk selanjutnya dilakukan penyuntikan.
Menurut Supriyadi dkk., (1997), kriteria induk yang matang gonad adalah sebagai berikut :- Induk betina bagian perut terlihat membuncit dan lunak serta daerah sekitar lubang uregenetical berwarna kemerah-merahan. Contoh telur di ambil dengan kateter, kemudian diamati tingkat dengan pengamatan visual. Induk yang siap untuk dipijahkan telurnya berwarna kekuningan, dengan diameter 1,0 – 1,2 mm dan jika direndam larutan serta terlihat inti berada dipinggir.
- Induk jantan bagian perut terlihat biasa, bentuk alat kelamin menonjol. Bila dipijat bagian perut kearah lubang uregenetical akan mengeluarkan cairan sperma berwarna putih susu.Menurut Jauhari dkk., (2012) keriteria seleksi induk didasarkan pada bentuk fisik, ukuran berat, umur, tingkat kesehatan dan kematangan gonad memiliki ciri-ciri : postur tubuh cenderung melebar, perut lembek, halus dan membesar kearah anus, urogenital membengkak dan membuka serta berwarna merah tua. Sedang postur tubuh induk jantan relative lebih langsing dan panjang, apabila bagian perut dekat lubang kelamin diurut akan mengeluarkan cairan putih kental/cairan sperma. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel telur dari induk betina. Induk yang siap dipijahkan mempunyai diameter telur yang seragam, warna putih kekuningan dengan diameter telur 1 – 1,2 mm.
- PEMIJAHAN SECARA BUATAN Pemijahan yang didahului dengan proses perangsangan hormon disebut pemijahan buatan atau kawin suntik (induce breeding) hingga
saat ini, teknik perangsangan hormon masih dianggap paling muttakhir
untuk pemijahan buatan patin. Dosis penyuntikan harus lah tepat. Caranya
untuk induk betina dilakukan dua kali penyuntikan dengan hormon yang
berbeda (Khairuman, 2008).
Penyuntikan pertama menggunakan HCG (Human Chronic Gonadotropin) untuk mempersiapkan gonad, meningkatkan kepekaan oosiet pada
tahap kedua pemberian hormon. Penyuntikan ke dua menggunakan ovaprim
berfungsi untuk merangsang hypopthalmus mengeluarkan GnRH dan menghambat
kerja dopamin, selanjutnya GnRH mempengaruhi kelenjar hipopfisa
mengeluarkan gonadontropin dan merangsang pertumbuhan sel telur
(Mahyuddin, 2010).
Induk betina dirangsang untuk ovulasi dengan menggunakan hormon. Rangsangan ovulasi menggunakan ovaprim dengan dosis total 0,5 ml/kg bobot ikan. Penyuntikan induk dilakukan sebanyak 2 kali dengan dosis 1/3 dari dosis total untuk penyuntikan pertama dan 2/3 dosis total untuk penyuntikan kedua. Adapun interval waktu penyuntikan adalah 6 jam dari penyuntikan pertama ke penyuntikan kedua.
Penyuntikan dilakukan secara intramuscular (punggung atas kanan/kiri) dengan sudut penyuntikan 45o. Perbandingan antara induk betina dan jantan yang dipijahkan adalah 1:3 proses penyalinan ( pengurutan) dilakukan setelah 6 jam dari penyuntikan kedua. Hal pertama yang dilakukan dalam proses striping adalah melakukan pengecekan apakah induk betina sudah ovulasi atau belum dengan cara mengurut perut induk ikan dari arah kepala ke lubang genital bila telur dapat keluar dengan pijatan yang lembut berarti induk sedah ovulasi dan siap di striping. Striping pada induk jantan dilakukan apabila sudah ada induk betina yang ovulasi (BBAT Jambi, 2011).
Menurut Purnama dkk., (2011), induk betina yang sudah ovulasi di striping dan telurnya ditampung dalam baskom plstik kering, kemudian induk jantan di striping untuk diambil spermanya dan ditampung dalam baskom yang berisi telur dari induk betina. Telur dan sperma diaduk secara perlahan sampai sperma dan telur tercampur merata. Untuk memudahkan proses pencampuran sperma dengan telur dapat ditambahkan larutan NaCl 0,8%. Tahap selanjutnya adalah melakukan pembuahan (inseminasi). Pembuahan dilakukan dengan cara memasukan wadah telur yang sudah dicampur dengan sperma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar